ASI adalah Hak Bayi

<b>ASI adalah Hak Bayi</b>

Mempunyai seorang anak adalah kebahagiaan bagi keluarga. Seorang bayi yang baru dilahirkan membutuhkan perhatian orang tuanya. Bayi adalah karunia dan amanat Alloh yang wajib dijaga dan dipelihara sehingga bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hak bayi untuk tumbuh dan berkembang tersebut harus dipenuhi oleh orang tuanya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis dan psikologis.

Kebutuhan fisiologis bayi adalah termasuk kebutuhan untuk minum/makan, kebersihan diri seperti mandi, berpakaian, beraktifitas dan kenyamanan. Tentu kebutuhan ini sama halnya dengan kebutuhan orang dewasa. Namun demikian, kalau orang dewasa mampu untuk melakukannya sendiri dalam memenuhi kebutuhan itu, maka bayi harus dibantu untuk pemenuhan kebutuhannya.

Untuk memberikan minum/makan yang terbaik, maka bayi harus mendapatkan haknya sebagai seorang bayi yaitu kebutuhan akan ASI (Ais Susu Ibu). ASI merupakan minuman/makanan satu-satunya yang memberikan nutrisi lengkap yang diperlukan oleh bayi. Bagi bayi usia 0 – 6 bulan bayi hanya diberi ASI saja tanpa diberikan minuman atau makanan tambahan apapun atau istilah sering dikenal dengan “ASI eksklusif”. ASI memberikan banyak sekali manfaat bagi bayi karena komposisinya yang mengandung lebih dari 200 unsur-unsur pokok, seperti zat putih telur, lemak, karbohydrat, vitamin mineral, factor pertumbuhan, hormone, enzim, zat kekebalan dan sel darah putih. Lebih menarik lagi untuk dipahami bahwa setiap tetes, setiap menit ASI yang keluar mempunyai komposisi nutrisi yang berlainan disesuaikan dengan laju pertumbuhan bayi. Menurut Utami (2000), manfaat pemberian ASI bagi bayi antara lain sebagai nutrisi, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan jalinan kasih saying.

Meskipun, begitu lengkapnya komposisi dan manfaat ASI bagi bayi, mengapa masih banyak sekali ibu yang tidak mau atau enggan untuk menyusui bayinya? Menurut data dari dinas kesehatan kota Magelang, tahun 2012, ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif di kota Magelang hanya sekitar 5% saja. Utami (2000) menyebutkan beberapa alasan ibu untuk tidak menyusui secara eksklusif antara lain pertama, karena ASI tidak cukup. Meskioun memang ada ibu-ibu yang ASInya kurang, data menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali (2-5%) yang secara biologis kurang produksi ASInya. Sementara 95-98% ibu dapat menghasilkan ASI yang cukup untuk bayinya. Kedua, karena ibu bekerja sehingga menganggap bahwa tanggung jawab terhadap pekerjaan lebih besar dari pada tanggung jawabnya kepada bayinya. Alasan lain adalah ibu tankut ditinggal suami karena mereka mempercayai mitos bahwa menyusui dapat megubah bentuk payudara menjadi jelek, padahal berubahnya bentuk payudara adalah karena kehamilan. Selanjutnya, ibu biasanya mempunyai alasan untuk tidak menyusui karena takut bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja, padahal menurut DR. Robert Karen menjelaskan bahwa anak akan tumbuh menjadi kurang mandiri, manja dan agresif karena kurang perhatian bukan karena terlalu diperhatikan oleh orang tuanya. Alasan lain ibu tidak mau menyusui bayinya karena menganggap susu formula lebih praktis.

Apakah kita tidak menyadari bahwa ASI adalah hak bayi yang harus dipenuhi? Bila ibu-ibu tidak atau belum memberikan haknya kepada sang buah hatinya, pernahkah kita merasa bersalah dan mengucapkan kata maaf untuknya? Kini saatnya kita harus menyadari bahwa petumbuhan dan perkembangan bayi adalah tanggung jawab dan amanat yang harus dijalankan supaya bayi-bayi kita dapat tumbuh menjadi anak-anak yang kelak akan menemani kita di saat kita menjadi tua dan anak-anak yang akan mendo’akan kita ketika kita telah dipanggil oleh sang Pencipta. Adakah alasan lagi bagi kita untuk tidak memberikan ASI kepada buah hati kita yang menjadi haknya?


Referensi
  1. Utami, Roesli (2000). Mengenal ASI eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya
  2. Data Kesehatan Dinkes Kota Magelang tahun 2012.